Jumat, 26 November 2010

Menumbuhkan Kesadaran Manusia untuk Mencintai Alam (Suatu Refleksi atas Hubungan Manusia dengan Alam)

Pengantar

          Manusia sebagai makhluk relasional dapat dijelaskan dalam tiga dimensi relasi yakni; relasi manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan dunia atau alam ciptaan. Namun ketika manusia jatuh dalam dosa, maka tiga dimensi relasi tersebut dapat menjadi rusak. Akibatnya muncullah sederetan kekacauan akibat dosa tersebut yang menyebabkan manusia saling mengancam, memberontak satu sama lain. Hubungan manusia dengan alam semesta menjadi tidak harmonis. Manusia menguasai alam dan merusaknya serta menganggap alam semesta ini hanyalah untuk memenuhi kebutuhan manusia. Peper ini saya beri judul “Menumbuhkan Kesadaran Manusia untuk Mencintai Alam” dalam kaitannya dengan penebangan pohon durian yang sedang marak terjadi akhir-akhir ini.

Realitas yang Terjadi dalam Masyarakat
            “Jubata Bera (Tuhan marah), Masyarakat Pedalaman Akan Merana”. Inilah judul dalam laporan khusus majalah Kalimantan Review edisi November 2009. Ibarat pepatah yang mengatakan: “tak ada rotan, akar pun jadi” sebenarnya mau menggambarkan fenomena yang saat ini sedang terjadi pada pohon durian di perkampungan orang pedalaman yang mayoritas dihuni masyarakat dayak. Makin berkurangnya kayu di hutan karena dibabat melalui aktivitas penebangan liar (Illegal Logging), perambahan hutan skala besar untuk perkebunan dan lokasi hutan tanaman industri (HTI), lokasi pertambangan dan pembukaan hutan dengan motif mencari keuntungan sebanyak mungkin, sepertinya telah memberikan ruang bagi proses pembabatan kayu khas lokal di sekitar hutan rakyat.
            Penebangan pohon durian untuk memenuhi kebutuhan kayu bagi konsumen dari luar dengan harga jual yang menggiurkan kini sedang marak terjadi. Tanaman khas yang sarat nilai sosial dan kultural bagi masyarakat di ambang kepunahan. Bila penebangan terus berlanjut, tidak mustahil buah dari tanaman durian, yang baru bisa dipanen dengan usia mencapai puluhan tahun, tinggal kenangan bagi generasi mendatang. Generasi mendatang hanya akan bisa gigit jari dan hanya akan dapat “memanen” durian dengan cara membeli. Sementara para orang tua terdahulu, yang selama ini dikenal sebagai pewaris bagi generasinya, bisa jadi tidak akan pernah dianggap lagi, karena generasi saat ini telah menebang pohon durian untuk di jual dan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek.
            Dalam beberpa kasus, harga yang menggiurkan ternyata mampu meluluhkan hati siempunya pohon durian untuk mengikhlaskan pohon duriannya ditebang. Berbagai ukuran dari kayu olahan pohon durian dihargai dengan harga yang fantastis. Pernah sebuah pohon durian dihargai sebesar 5 Juta Rupiah. Bahkan dalam satu Kompokng Perenean (Wilayah tembawang kerabat keluarga), yang terdapat 21 batang pohon durian, dibeli dengan harga 25 Juta Rupiah.
            Fenomena penebangan pohon durian yang saat ini sedang marak terjadi di beberapa tempat (khususnya di kabupaten Landak) dipicu dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kehutanan RI nomor P.33/Menhut-II/2007 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak masyarakat.
            Berbagai tanggapan mengenai maraknya penebangan pohon durian ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bagi pihak-pihak yang merasa diuntungkan beralasan bahwa pohon durian yang sudah tidak produktif lagi seharusnya ditebang karena mengandung nilai ekonomis dan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Akan tetapi realita yang terjadi di kalangan masyarakat menunjukkan bahwa pohon durian yang masih berbuah pun ditebang demi mendapat keuntungan yang lebih cepat.
            Masyarakat yang tidak setuju beranggapan bahwa terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) dinilai memberi celah bagi setiap orang untuk menebang pohon durian. Kerugian yang diakibatkan oleh peristiwa ini bisa beraneka ragam. Durian dianggap sebagai tanaman yang mengandung nilai historis, tanaman sosial, pelindung tanah, dan tanaman pemersatu. Setiap keluarga, bila musim durian tiba, bisa hadir bersama dalam satu momen untuk saling bertemu sekaligus untuk mempererat tali kekeluargaan. Beberapa pemerhati lingkungan menaruh sikap prihatin dengan menganjurkan agar tanaman ini perlu dijaga. Mereka meminta kepada masyarakat agar tidak tergiur dengan harga yang ditawarkan.

Penyebab Kerusakan Alam
            Telah disebutkan di atas, bahwa penyebab utama dari kerusakan alam terletak dalam diri manusia. Manusia tanpa kenal ampun dan sering berlebihan dalam mengolah, mengelola dan mempergunakan sumber daya alam. Manusia sering tidak menyadari (atau menyadari tetapi tidak mau ambil pusing) bahwa sumber daya alam pada suatu saat akan mengalami degradasi baik kualitas maupun kuantitas.
            Dipandang dari aspek penyebabnya, masalah kerusakan lingkungan hidup didasarkan atas tiga bagian besar yaitu: pertama, persepsi manusia yang salah atas lingkungan hidup; kedua, disharmoni relasi manusia dengan alam ciptaan; ketiga pertambahan jumlah penduduk.
Persepsi Manusia yang Salah Atas Lingkungan Hidup
            Dalam mengelola dan mengolah alam, sebagian manusia berpikir bahwa lingkungan hidup adalah obyek yang harus dikuasai dan dikeruk demi kebutuhan dan kesejahteraan manusia. Pandangan antroposentris ini mengandaikan bahwa alam semesta ada untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Oleh sebab itu, manusia yang menganut paham ini menekankan sentralitas manusia dalam lingkungan hidup. Makhluk hidup lain adalah sarana atau alat yang dipertimbangkan sejauh mampu memenuhi kebutuhan manusia dan membahagiakannya. Itulah sebabnya segala yang berbentuk sumber daya alam dapat dipakai, dan dieksploitasi demi kesejahteraan segelintir manusia. Mereka beranggapan bahwa alam semesta tidak mempunyai nilai dalam dirinya sendiri.


Disharmoni Relasi Manusia dengan Alam Semesta
            Permasalahan lingkungan hidup berarti permasalahan semua alam tercipta termasuk manusia, karena alam dan ekosistemnya membentuk suatu keutuhan yang saling terkait. Namun demikian, kenyataan sering menunjukkan bahwa relasi manusia dengan lingkungan hidup tidak berjalan dengan baik. Relasi manusia dengan alam mengalami ketegangan. Ketegangan ini timbul bukan karena alam enggan atau benci bersahabat dengan manusia, melainkan karena keangkuhan sikap manusia terhadap alam. Manusia kerap memperlakukan lingkungan hidup dengan buruk. Perlakuan buruk inilah yang menyebabkan krisis lingkungan hidup karena keseimbangan ekosistem terganggu. Padahal bila ekosistem terganggu, daya dukung lingkungan tidak lagi memadai untuk menghindari terjadinya musibah alam seperti tanah longsor, banjir atau kekeringan.
            Disharmoni manusia dengan alam juga ditampakkan oleh pesatnya perkembangan industri. Industrialisasi mengakibatkan relasi manusia dengan alam atau lingkungan hidup pelan-pelan terputus. Alam hanya dianggap sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manuasia. Kuasa dan kecongkakan manusia menaklukkan alam semesta dengan tindakannya yang tak kenal batas, tak kenal kewajiban dan kurang menghargai nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya. Semua itu dampak tekhnologi modern yang tak terkontrol oleh manusia.
Pertambahan Jumlah Penduduk
            Manusia adalah populasi yang mempunyai peranan yang sangat penting di bumi, baik karena jumlahnya maupun karena akal budinya. Kepandaian manusia dapat melestarikan sekaligus menghancurkan lingkungan hidup. Karena itu pertambahan populasi manusia secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap lingkungan hidup. Korelasi pertambahan jumlah penduduk dengan krisis lingkungan hidup mengemuka ketika manusia membutuhkan pangan, sandang dan tempat tinggal. Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi mengakibatkan tingkat konsumsi dan kebutuhan akan sumber daya alam yang tinggi pula. Masalah pertambahan jumlah penduduk juga akan mengakibatkan penyusutan dan habisnya “stock” sumber daya alam. Selain itu akan timbul juga pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah rumah tangga dan sarana-sarana transportasi.

Perhatian akan Lingkungan Hidup
            Alam telah rusak, kerusakan alam itu tidak bisa dipisahkan dari manusia. Manusia mengeksploitasi alam secara semena-mena. Melalui ilmu pengetahuan da teknologi manusia mengeksploitasi alam untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu alasan yang dijadikan dasar bagi eksploitasi alam yaitu alasan kebutuhan hidup manusia. Dengan cara tersebut manusia sekaligus beusaha untuk mempertahankan kehidupannya.
            Apabila kepedulian akan perkembangan ekonomi dan teknologi tidak disertai dengan kepedulian akan keseimbangan sistem lingkungan, dunia kita mau tak mau teancam bagi kehancuran lingkungan yang lebih serius, disertai dengan kerugian bagi manusia itu sendiri. Manusia harus memperlakukan alam dengan arif-bijaksana dan bertanggungjawab. Bertanggung jawab terhadap lingkungan bukan hanya soal tekhnis, tetapi juga persoalan etika. Semua manusia memiliki tugas untuk memelihara alam, tidak hanya bagi kebaikan mereka sendiri tetapi juga demi keutuhan ciptaan di masa mendatang.

Makna Menguasai dalam Kej 1: 26-28
            "Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah alas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kejadian 1: 26-28).
            Terhadap teks termasyur ini kita kenali beberapa upaya penafsiran berikut yang menunjukkan bahwa teks tersebut tidak dapat dijadikan basis bagi berbagai upaya perusakan alam secara tidak bertanggung jawab.
            Kata "berkuasa" harus dimengerti berdasarkan konteks terdekat Kejadian 1. ltu berarti, bahwa kata tersebut harus dipahami dalam kaitan dengan konsep tentang berkat (ayat 28a) dan tentang pembagian antara manusia dan binatang tanpa adanya saling membunuh (ayat 29-30). Di samping itu patut diingat, bahwa dalam kisah penciptaan Kejadian 1 ini dunia digambarkan sebagai sesuatu yang ditata secara harmonis dan baik. Dengan memperhatikan konteks seperti itu kata berkuasa (raddah) tidak boleh dimengerti sebagai kesewenang-wenangan, perlakuan keras dan kasar (bdk. Yoel 3:13: injak-­injaklah mereka seperti anggur); melainkan lebih sebagai tugas untuk memelihara dan mengurus. Hal tersebut sesuai pula dengan gambaran tentang Raja-Gembala di Timur Tengah Kuno yang memang bertugas mengatur dan mengupayakan agar rakyatnya hidup dalam kedamaian dan sejahtera (Bdk. Yes 11 :6-9).
            Demikian pula dengan memperhatikan konteks seperti itu, kata "menaklukkan" (kabbas) tidak boleh dimengerti secara negatif dan keras (bdk. Zakharia 9: 15: mereka akan menghabisi dan menginjak-injak pengumban-pengumban), tetapi harus dimengerti secara lebih positif (mengolah, mengerjakan). Dimengerti secara demikian, maka Kejadian I tidak dapat dijadikan dasar untuk membenarkan tindakan eksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab. Manusia berdasarkan Kejadian 1 harus lebih dilihat sebagai wakil dari Allah, yang bertanggungjawab atas bumi dan segala makhluknya. Tanggung jawab dan tugas itu harus dilaksanakan dengan semangat dan keprihatinan dari Sang Khalik Pemelihara.
            Tafsiran seperti itu menimbulkan protes sejumlah pakar lain yang berpandangan, bahwa penafsiran tersebut terlalu lunak. Gambaran tentang manusia sebagai pengurus alam semesta serta penghuninya dianggap timpang. Ide tentang Raja-Gembala Tinur Tengah Kuno yang sering dipakai untuk mendasarkan interpretasi seperti tadi, menurut para ahli ini sebenarnya juga ambigu. Memang ada sisi pemeliharaan, tetapi ada pula sisi despotisme, kesewenang-wenangan. Maka kiranya ayat 28 harus dimengerti sebagai sesuatu yang bermakna ganda pula: Manusia itu di satu pihak memang pelindung, tetapi juga memiliki sifat agresif-menguasai; di satu pihak pemelihara, tetapi juga yang harus senantiasa siap membendung kekacauan. Allah Pencipta sendiri memang menjaga keharmonisan alam, tetapi itu juga harus terjadi dengan terus membendung berbagai bahaya (khaos, gelap gulita) yang mengancam kosmos. Kalau begitu manusia juga sebagai citra Allah berwenang untuk memelihara dan menaklukkan.
            Penafsiran kedua ini juga mendasarkan pendapat mereka pada kenyataan geografis, keadaan hidup yang keras di wilayah Kanaan. Lingkungan hidup di Palestina adalah lingkungan hidup yang keras. Alam tidak selalu ramah. Orang harus berjuang melawan kekeringan, melawan binatang liar dll

Beberapa Paham Dasar 
            Dalam upaya melepaskan diri dari paradigma antroposentrisme paham kristiani tidak jatuh pada biosentrisme (segala sesuatu berpusat pada makhluk hidup); juga tidak pada geosentrisme ataupun cosmosentrisme (seluruh bumi dan alam semesta sebagai pusat). Dalam paham kristiani segala sesuatu memiliki nilai dalam dirinya sendiri karena relasi mereka dengan Allah.
            Pandangan ini berciri teosentris; juga merupakan konsekuensi dari Kristologi-Hikmat yang melihat segala sesuatu sebagai yang diciptakan dan ditransformasikan dalam Yesus-Sophia. Segala sesuatu memiliki nilai dalam diri mereka sendiri karena mereka merupakan pengungkapan diri Allah sendiri. Mereka adalah artikulasi tercipta dari Sabda kekal, Kebijakan ilahi.
            Burung-burung, tanam-tanaman, hutan, gunung, galaksi memiliki nilai karena mereka berada dan disokong oleh Communio ilahi (Person in Mutual). Dalam kerangka pandangan seperti itu praksis ekologis kristiani menghormati nilai unik dari pribadi manusia dalam relasi dengan ciptaan lain. Martabat pribadi manusia bukanlah satu-satunya kriteria dalam pengambilan keputusan. Pribadi manusia perlu dipahami dalam kerangka komunitas ciptaan-ciptaan lain yang juga memiliki nilai sendiri dalam relasinya dengan Allah. Jadi kita menolak antroposentrisme ketat yang basis penilaian etisnya semata-mata martabat pribadi manusia belaka.
            Di lain pihak, hormat pada segala ciptaan tetap disertai pula dengan penghormatan khusus pada martabat unik pribadi manusia. Pribadi manusia di sini dimengerti dalam kaitan intersubjektif dengan sesama dan dengan ciptaan lain. Dalam konteks ini, pribadi manusia dimengerti sebagai ciptaan yang sampai pada taraf kesadaran, sebagai seorang yang berdiri di hadapan Allah yang dengan bebas mewahyukan diri dan memaafkan; sebagai seorang yang diciptakan secitra dengan Allah dan dipanggil masuk dalam kehidupan Allah Tritunggal, sebagai anak angkat Allah.
            Demikian pula pandangan kristiani tidak melihat alam semesta secara instrumental saja, dan karena itu dengan bebas dapat dieksploitasi. Tetapi juga pandangan kristiani tidak dapat menempuh jalan memuja alam atau ibu pertiwi seperti kini sering terjadi dalam eko-antusiasme yang romantis namun kurang realistis. Alternatif yang mungkin bisa ditawarkan, adalah dengan melihat ciptaan sebagai saudari dan saudara.

Tugas dan Sikap Manusia Terhadap Alam
            Tugas memelihara alam ciptaan adalah tugas hakiki setiap umat beriman. Yesus telah menjadi contoh memulihkan kembali relasi manusia dengan alam lingkungan lewat misi-Nya. Yesus menegakkan kembali kerajaan Allah suatu kondisi baru yang dicita-citakan Allah sejak penciptaan di mana semua ciptaan hidup harmonis sebagai saudara-saudari satu sama lain, saling menghargai, menghormati dalam cinta Allah sebagai Bapa yang satu bagi semuanya. Orang Kristen mestinya memiliki tanggung-jawab memelihara alam semesta sebagai wujud konkret iman kepada Tuhan. Mencintai Tuhan berarti juga mencintai sesama dan alam semesta. Manusia harus memiliki tanggung-jawab untuk menjaga keharmonisan alam semesta.
            Maka ada tiga sikap manusia yang tepat dalam relasinya dengan alam ciptaan. Pertama, alam harus dilihat sebagai subyek bukan obyek. Sikap manusia yang melihat alam ciptaan sebagai obyek harus ditinggalkan. Alam ciptaan harus dilihat sebagai saudara yang harus dihormati dan dicintai. Alam bukan objek manipulasi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia tidak boleh bersikap eksploitasi terhadap alam semesta. Bencana alam kerap terjadi karena kesalahan pada paradigma pola relasi manusia dengan alam. Secara paradigmatik, pola relasi kita dengan alam selama ini adalah pola relasi subyek-obyek. Dalam hal ini, manusia bertindak sebagai subyeknya dan alam sebagai obyek. Pola semacam ini menempatkan alam sebagai benda mati yang tidak membutuhkan penghargaan. Keberadaan alam hanya dilihat pada tataran kegunaan semata, yakni berfungsi memenuhi kebutuhan manusia. Manusia berhak penuh atas alam. Akibatnya, alam dijadikan sasaran penjajahan dan eksplotasi manusia serakah. Hutan yang mestinya menjadi sumber bahan mentah industri, tempat berkembang-biak beragam hayati tidak dipedulikan lagi.
            Prilaku hidup masyarakat yang selalu mengobyektivasikan alam adalah faktor utama datangnya bencana. Cara bertindak semacam ini merupakan simbol hedonis manusia yang serakah dan tumpul hati nurani. Alam tidak lagi dipandang sebagai teman hidup, tetapi obyek yang bisa dieksplotasi. Padahal kesalahan cara pandang tersebut merupakan kesalahan yang sangat fundamental. Karena secara faktual, kerusakan alam semesta sebenarnya merupakan ancaman terhadap masa depan kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian, kesalahan paradigmatik jelas akan menghancurkan nyawa bangsa sendiri.
            Kedua, perlu pertobatan teologis, khususnya teologi penciptaan. Dalam Kitab Kejadian 1:26 menunjukkan manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Artinya manusia diciptakan setara dengan ciptaan lainnya. Manusia tidak hanya membiarkan alam ada begitu saja tetapi manusia dipanggil untuk mengolah alam sedemikian rupa sehingga alam semakin hari semakin sempurna. Jadi teologi kristiani, tidak lagi sekedar melihat alam sederajat tetapi manusia tetap berada di atas alam semesta untuk mengolah dan diberi tanggung-jawab supaya alam semesta menjadi sempurna. Ketiga, perlu adanya penelitan ilmiah mengenai kerusakan alam ciptaan dan mensosialiasikan kepada masyarakat.

Penutup            
Konsep relasi manusia dengan alam semesta dalam tatataran teoritis menganut dua paham antroposentris dan kesedrajatan antara alam semesta dengan manusia. Paham antroposentris tentu melihat alam semesta memiliki relasi subyek-obyek. Manusia sebagai subyek sehingga ia berhak menguasai alam sebagai obyek. Sementara paham kesederajatan manusia dengan alam semesta dilihat sebagai relasi subyek-subyek. Maka hubungan manusia dengan alam semesta kedua-duanya sebagai subyek sehingga manusia tidak boleh memperlakukan alam semesta sesuka hatinya.
            Relasi manusia dengan alam semesta dalam Perjanjian Baru, nampaknya mengandung paham relasi teosentris atau Kristo-sentris. Sebab inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus membawa transformasi total, yakni pemulihan kembali restorasi hubungan mulia yang erat antara Allah dan manusia, manusia dengan alam semesta. Jadi penderitaan, kematian dan kebangkaitan Yesus Kristus telah memulih kembali relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan alam semesta. Relasi ini sebenarnya telah rusak akibat dosa manusia, maka Yesus tampil untuk memulihkan itu secara total, sehingga seluruh alam ciptaan menjadi harmonis, damai dan sejahtera.
            Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia mestinya tetap memiliki hak tanggung-jawab untuk melestarikan alam semesta. Alam harus dilihat sebagai sahabat, sesama ciptaan Tuhan, sebagai SAUDARA. Dan dalam konteks Indonesia, kiranya pandangan ini tidak jauh berbeda dengan kearifan lokal yang ada dalam budaya kita yang jelas memandang alam sebagai subjek. Maka, kita perlu kembali kepada kearifan lokal yang melihat alam adalah sahabat manusia, bahwa manusia bagian integral seluruh alam semesta ini. Kearifan lokal mengajarkan kebijaksanaan hidup bagaimana manusia secara arif memperlakukan alam semesta.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More